Dalam banyak dokumentasi foto Bung Karno, tidak sedikit yang menampakkan sosok Putra Sang Fajar itu memegang atau mengempit tongkat komando. Dalam hierarki kemiliteran, posisinya sebagai Panglima Tertinggi, tentu saja merupakan hal yang wajar jika ia sering terlihat memegang tokat komando. Sama seperti yang sering kita lihat, ketika Panglima TNI, Panglima Kodam, Kapolri, memegang tongkat komando.
Akan tetapi,
tidak begitu dari kacamata spiritual. Kalangan yang percaya hal-hal
ghaib. Kalangan yang percaya adanya kekuatan tertentu pada benda-benda
keramat. Di antara kalangan mereka, percaya betul bahwa tongkat komando
Bung Karno bukanlah sembarang tongkat. Tongkat komando Bung Karno
adalah tongkat sakti, yang berisi keris pusaka ampuh. Bahkan, kayu yang
dibuat sebagai tongkat pun bukan sembarang kayu, melainkan kayu pucang
kalak. Pucang adalah jenis kayu, sedangkan Kalak adalah nama tempat di
selatan Ponorogo, atau utara Pacitan. Di pegunungan Kalak terdapat
tempat persemayaman keramat. Nah, di atas persemayaman itulah tumbuh
pohon pucang.
Ada begitu banyak jenis kayu pucang,
tetapi dipercaya pucang kalak memiliki ciri khas. Salah satu cara untuk
mengetes keaslian kayu pucang kalak, pegang tongkat tadi di atas
permukaan air. Jika bayangan di dalam air menyerupai seekor ular yang
sedang berenang, maka berarti kayu pucang kalak itu asli. Tetapi jika
yang tampak dalam bayangan air adalah bentuk kayu, itu artinya bukan
pucang kalak. Pucang biasa, yang banyak tumbuh di seantero negeri.
Begitulah sudut
pandang mistis masyarakat spiritual terhadap tongkat komando Bung
Karno. Alhasil, tidak sedikit yang menghubungkan dengan besarnya
pengaruh Sukarno. Tidak sedikit yang menghubungkan dengan kemampuannya
menyirap kawan maupun lawan. Tidak sedikit yang menghubungkan dengan
“kesaktian” Sukarno, sehingga lolos dari beberapa kali usaha pembunuhan.
Apa kata Bung Karno ketika itu? “Ah… itu semua karena
lindungan Allah, karena Ia setuju dengan apa-apa yang aku kerjakan
selama ini. Namun kalau pada waktu-waktu yang akan datang Tuhan tidak
setuju dengan apa-apa yang aku kerjakan, niscaya dalam peristiwa
(pembunuhan) itu, aku bisa mampus.”