Sesuatu
yang sangat indah… Dengan menikah surga dunia akan menjadi nyata.
Segalanya begitu mempesona. Siang yang penuh canda tawa dan malam yang
indah dalam peraduan cinta. Bisa tilawah bersama. Melakukan pengayaan
materi tarbiyah berdua. Jika lelah ada yang memijat. Jika lemah ada yang
memberi semangat. Tanggal muda belanja berdua. Tanggal tua tetap mesra.
Berangkat kerja dicium tangannya. Pulang kerja disambut gembira. Dunia
hanya milik berdua.
Kadang-kadang perasaan seperti itulah yang dimiliki oleh kita yang ingin
menikah. Imajinasi yang sempurna. Bahwa pernikahan takkan kurang dari
13 kalimat di atas. Benar-benar mempesona tanpa cela. Benar-benar indah
tanpa masalah.
Sebenarnya, boleh-boleh saja membayangkan yang demikian. Agar motivasi berkeluarga itu terjaga. Agar menikah tidak terlambat.
Namun, saat yang dibayangkan hanya keindahan, itu akan menjadi harapan
yang mengeras dan harus jadi kenyataan. Efek negatifnya, ketika
pernikahan yang dilaluinya tidak seindah yang dibayangkan, jiwanya bisa
tidak siap menghadapi sehingga lebih sakit terasa atau segera kecewa.
Saat ada problematika dalam kehidupan rumah tangga yang sama sekali
berbeda dengan bayangan sebelumnya bisa menjadi masalah besar. Meskipun
sebenarnya problem itu wajar dalam interaksi suami istri pada umumnya.
Maka ada baiknya jika kita memiliki bayangan-bayangan indah tentang
pernikahan, kita juga memahami bahwa ada persoalan-persoalan yang bisa
saja terjadi dalam kehidupan berkeluarga.
Pertama, hari-hari pertama pernikahan yang umumnya dipakai bulan madu
oleh masyarakat kita, memang adalah momen-momen terindah. Saat itu,
meskipun ada salah ucap atau makanan yang kurang sesuai dengan selera
akan menjadi tidak terasa. Kalah oleh nikmatnya cinta. Namun seiring
berjalannya waktu dan bergantinya hari, semua akan menjadi biasa dan
kembali seperti sedia kala. Suami istri juga akan mulai mengetahui
karakter masing-masing lebih detail. Di sini kadang kita terkejut,
“Ternyata istriku suka ngambek. Sedikit-sedikit ngambek, diam tidak mau
bicara. Padahal hanya telat pulang kerja 30 menit karena macet.” Di sini
kadang istri kaget, “Ternyata suamiku mudah marah. Sarapan telat marah.
Baju kurang rapi marah.”
Jika kita menganggap itu masalah besar karena sebelumnya hanya
membayangkan yang indah-indah saja, kita mudah patah dan menyerah. Namun
jika kita telah siap, kita akan lebih antisipatif. Pasti ada solusinya.
Kalau istri ngambek, suami yang memulai berbicara, mencandai, merayunya
dan… seterusnya. Kalau suami kelihatan mau marah, istri yang minta maaf
duluan, dipanggil sayang, dan… selanjutnya terserah Anda.
Kedua, sering kali pasangan muda pada tahun-tahun pertama akan diuji
dengan keterbatasan ekonomi. Apalagi yang dari awal hanya berbekal
motivasi “menikahlah maka engkau akan kaya”. Ikut mertua sungkan. Rumah
sendiri belum punya. Akhirnya tinggal di rumah kontrakan. Apalagi
sebelumnya adalah mahasiswa murni yang tiao bulan selalu mendapat “bea
siswa” dari orang tua. Begitu menikah “bea siswa” berhenti dan pekerjaan
belum mapan. Jika hanya membayangkan pernikahan dari indahnya hidup
penuh cinta tanpa persiapan menghadapi kondisi seperti ini bisa
berbahaya. Namun jika telah memprediksi sebelumnya bahwa kemungkinan ini
bisa saja terjadi, mereka berdua tetap yakin pada Allah yang Maha
Pemberi Rezeki dan memecahkan masalah berdua penuh cinta. Bukan istri
menyalahkan suami karena penghasilannya yang masih “pemula” atau suami
yang memaksa istri minta “bea siswa” lagi kepada orang tua.
Ketiga, kehidupan berumah tangga menjadikan kita dihitung sebagai warga
masyarakat yang sebenarnya. Jika sebelumnya kita adalah pertapa di
menara gading yang tidak pernah diperhatikan masyarakat, begitu berumah
tangga kita mau tidak mau akan terlibat dalam banyak aktifitas dan
hak-hak bertetangga. Konsekuensinya jelas, ada kontribusi waktu bahkan
maliyah kita. Kalau sebelumnya hanya membayangkan nikmatnya menikah bisa
terus berduaan, lebih banyak waktu untuk tilawah dan mendiskusikan
materi tarbiyah, kita akan kewalahan.
Keempat, semakin lama kita berumah tangga yang dibangun di atas pondasi
imajinasi sempurna, potensi futur dalam berumah tangga semakin besar.
Tidak mungkin rumah tangga selama bertahun-tahun bebas masalah atau
konflik, sekecil apapun. Imbangilah bayangan keindahan dengan kesadaran
adanya kemungkinan ini supaya lebih siap dan sigap mengatasinya.
Diperlukan upaya mengatasi futur dalam berumah tangga ini.
Kelima, saat Allah mengamanahkan hamba kecilnya kepada kita. Mulai istri
mengandung yang seleranya berubah bahkan terkadang aneh, termasuk
sikapnya, sampai waktu, tenaga, perhatian dan finansial lebih besar
untuk menyambut kelahirannya dan mulai membesarkannya.
Jika kita punya bayangan akan kemungkinan-kemungkinan ini, kita lebih
siap dan lebih antisipatif menghadapinya. Sehingga semuanya berlalu
hanya bagaikan riak-riak kecil yang menambah asyik laju bahtera kita,
tidak sampai menjadi ombak besar yang menenggelamkannya.
Seperti Umar bin Khatab saat ada orang yang mau mengadu kepadanya. Begitu mendapati